Sejarah Kerajinan Tanah Liat



Hasil gambar untuk gambar patung sejarah

The 4th Jakarta Contemporary Ceramics Biennale (JCCB-4) sedang berlangsung di Galeri Nasional, Jakarta. Karya-karya yang terbuat dari tanah lempung itu mengupas sejarah lapis demi lapis. 

Sebanyak 41 seniman yang berasal dari 20 negara ambil bagian dalam pameran besar dan yang berlangsung lama, sejak 7 Desember 2016 hingga 22 Januari 2017. 

Diselenggarakan di Gedung A, B, dan C Galeri Nasional Indonesia, helatan seni keramik kontemporer dua tahunan (biennale ) yang terbesar di Asia Tenggara ini mengusung tema Ways of Clay: Perspectives Toward the Future. Nurdian Ichsan, kurator pameran, menjelaskan tema Ways of Clay berangkat dari kenyataan bahwa material lempung dan keramik hingga saat ini tetap menarik perhatian seniman- seniman. Melalui tema ini, JCCB hendak menafsirkan sejarah sebagai perspektif dalam memahami praktik seni keramik di masa mendatang. 

Sejarah dalam konteks JCCB-4 bukan hanya sejarah seni keramik sebagai sebuah disiplin, melainkan dipahami juga sebagai sejarah penggunaan material lempung dan media keramik dalam praktik seni rupa. Fakta sejarah menunjukkan penggunaan material lempung dan media keramik tidak bisa dibatasi oleh pengelompokan kategoris objek estetik yang dibentuk pada masa seni modern. ”Bahkan, hingga kini lempung dan keramik selalu menarik perhatian perupa dari berbagai latar belakang,” katanya. 

Menariknya, praktik seni keramik sejak awal mengandung aspek paradoks dalam berbagai level pemahaman sebagai material, media, dan objek. Paradoks inilah yang menyebabkan praktik seni keramik selalu berada dalam kondisi yang tidak stabil, namun juga fleksibel dan mengandung mobilitas. Bagi Rizi A Jaelani -yang juga kurator, Ways of Clay bisa dianggap sebagai upaya untuk menghubungkan asal-muasal tanah liat. 
”Judul Ways Of Clay bagi pameran seni keramik ini bisa dianggap bermaksud menghubungkan perkara asal-muasal (tanah liat) yang tak semuanya adalah watak yang hasilnya bisa dikenali, dengan keadaan hasil pada tahap selanjutnya ketika tanah liat itu dibakar menjadi medium keramik,” tutur Rizki. 

Karya yang Atraktif 

Karya yang tampil dalam pameran kali ini sangat hidup dan atraktif. Hal ini bisa dimengerti karena sebelum pameran berlangsung, JCCB-4 menyelenggarakan program residensi, di mana para seniman ditempatkan di beberapa lokasi tertentu. Sebanyak 20 seniman ikut program residensi. Mereka antara lain Agugn Prabowo (Indonesia), Alice Couttoupes (Australia), Ane Fabricus Christiansen (Denmark), Antonella Cimatti (Italia), Clare Twomey (United Kingdom), Diego Akel (Brasil), Eddie Prabandono (Indonesia), Eva Larsson (Swedia), Geng Xue (China), Gita Winata (Indonesia), dan Heri Dono (Indonesia). 

Lewat program ini, para seniman keramik dapat mengaktivasi dan membentuk ekologi seni keramik dengan melibatkan berbagai lembaga pendidikan menengah dan perguruan tinggi seni, studio keramik individual, industri keramik, kerajinan dan komunitas pembuat keramik. Lebih dari itu, para seniman juga bisa berinteraksi langsung dengan masyarakat dan lingkungan. Hasilnya, karya mereka sangat membumi. Karya seniman Eddie Prabandono misalnya. Pada pameran bertaraf internasional ini, Eddie menyertakan karya yang bertajuk Greedy. Karya Eddie cukup unik. 

Ia menghadirkan kaya berupa kursi dan di atas kursi tersebut, ia menumpuk atau menyusun banyak piring. Ini sebuah kritik sosial yang disentil Eddie. Baginya, kursi dan piring sangat erat kaitannya. Kursi sebagai simbol kekuasaan. Piring sebagai simbol ekonomi, harta, uang, atau makanan. Menurutnya, orang cenderung menumpukkan kekayaan jika sedang berkuasa. Maka, sangat tepat Eddie memberi judul karyanya dengan nama Greedy , rakus atau tamak. ”Saya memberi judul karya ini Greedy . Orang yang duduk di kekuasaan tak akan pernah puas,” tandasnya. 

Karya-karya yang tampil pada pameran kali ini tidak hanya atraktif, tapi juga kaya dari sisi perspektif. Hal ini tidak lain karena JCCB tidak hanya melibatkan seniman keramik. Para seniman nonkeramik juga dilibatkan. Padahal, hampir semua pameran-pameran keramik berkala internasional hanya melibatkan para seniman keramik. Dengan melibatkan para seniman nonkeramik, sebenarnya JCCB telah meletakkan platform dasar yang membedakannya dengan biennial keramik lainnya, dan sekaligus menunjukkan relevansi konteks masa kemunculannya. 

Kata kunci dalam memahami JCCB adalah sifat inklusif dan ekspansif. Inklusif dalam pengertian terbuka dan selalu melibatkan bukan hanya seniman keramik, serta ekspansif dalam pengertian mendorong baik terobosan- terobosan artistik maupun peluang penafsiran terhadap media dan pengertian keramik itu sendiri. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar